Right way of diet...Harus Tahu Kebutuhan Kita!
Diet yang kita kenal, pemahaman di masyarakat awam, adalah 'sengaja mengurangi makan supaya berat badan turun'. Namun, sebenarnya kita melakukan diet setiap hari--ketika kita mengonsumsi nasi, sayur-sayuran, buah, dan lain-lainnya. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, diet itu adalah pengaturan makanan kita sehari-hari dengan tujuan tertentu. Misalnya : diet rendah kalori untuk menurunkan berat badan, diet rendah gula untuk penderita diabetes, diat rendah garam untuk penderita hipertensi, diet tinggi kalori untuk yang ingin gemuk, dan sebagainya. Bagaimanapun juga, jenis diet papun yang dipilih, hendaknya kita tetap memperhatikan keseimbangan kebutuhan nutrisi tubuh.
Budaya Makan dan Status Sosial
Diet atau makan bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan biologi kita saja, tetapi kultur dan sosial lebih penting pengaruhnya terhadap pola diet kita. Tiap orang dari kita, yang memiliki status sosial dan budaya berbeda, pasti memiliki cara ber-diet yang berbeda pula.
Yang paling utama dan pertama, diet/makan digunakan sebagai obat lapar. Urusan perut ini selalu ada kaitannya dengan kenikmatan. Tiap golongan, suku bangsa, bahkan antara individu satu dengan yang lain, memiliki kesukaan akan suatu makanan. Makanan di wilayah tropis berbeda dengan makanan di daerah sub tropis. Makanan di wilayah tropis dan yang mendekati tropis sangat berbumbu. Menurut ilmu botani, wilayah tropis dan sekitarnya memiliki keanekaragaman hayati lebih tinggi dibandingkan wilayah sub tropis. Ini bisa dijadikan alasan, bahwa lebih banyak tanaman di negeri tripis yagn bisa dijadikan penambah citarasa. Orang-orang tropis jadi tahu, kalau pemberian bumbu banyak pada makanan dapat menghambat pembusukan. Kenapa pembusukan cepat di daerah tropis? Karena suhu udara di daerah tropis lebih hangat dan lagipula basah (kelembaban udara tinggi, rata-rata 80 %). Ini membuat mikroba senang meninggalinya. Berbeda dengan negeri sub tropis yang sejuk/dingin tetapi kering. Contohnya : Orang Belanda tidak suka makanan berbumbu, sementara orang India suka makanan berbumbu tajam. Di Eropa sendiri, semakin ke selatan, makanan semakin berbumbu. Kalau di Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa yang ada di bagian utara memiliki citarasa cenderung hambar, maka di Italia citarasanya lebih berbumbu.
Di Indonesia saja kesukaan terhadap makanan antar suku berbeda-beda. Yang paling terkenal adalah citarasa makanan Jawa Tengah/DIY dan Sumatera (khususnya Sumbar). Makanan Jateng/DIY berasa manis, masakan Padang berasa pedas. Namun, pada saat ini, orang-orang telah banyak bermigrasi. Mereka membawa serta makanannya ke tempat tinggal barunya. Walau demikian, makanan yang ada di daerah baru tersebut tetap saja disesuaikan dengan citarasa lokalnya. Contohnya : Masakan Padang sudah banyak dijumpai di luar Padang, dengan tingkat kepedasan yang sudah berkurang. Masakan Indonesia pun sudah merambah Eropa, khususnya Belanda, tapi di Belanda rasa masakannya juga lebih hambar dibandingkan rasa aslinya di Indonesia.
Kedua, makan digunakan untuk menunjukkan jati diri. Misalnya di Jepang, ikan mentah/sushi merupakan makanan terhormat untuk disajikan kepada tamu-tamu. Di Sumatra, daging adalah makanan elit. Amat memalukan bila tidak bisa menghidangkan daging. Lain lagi di Jawa, jika bertamu, pasti akan disuguhi makanan. Apapun jenis makanannya, si tamu diusahakan memakannya.
Ketiga, makan/diet sebagai simbol realigi. Misalnya dalam agama Islam, kambing lebih banyak digunakan dalam ritual agama—akikah/selamatan kelahiran bayi, khitanan. Bahkan di negara Arab, makanan cepat saji menggunakan daging kambing, bukan sapi. Dalam agama Katolik, anggur diibaratkan sebagai darah Kristus, roti adalah dagingnya. Bahkan, uparaca-upacara adat tradisional juga menggunakan makanan sebagai sesaji.
Keempat, makanan sebagai alat komunikasi. Bagaimana caranya? Makan bersama dalam keluarga adalah simbol kehangatan hubungan dalam keluarga tersebut. Ketika ada acara-acara, makanan itu juga sebagai tali pengikat silaturahmi. Pesta makan juga sering diselenggarakan untuk merayakan/menghormati seseorang, kelompok, atau peristiwa penting. Banyak waktu dan uang yang dikeluarkan untuk memnuhi selera makan tamu-tamunya. Ini sering membuat seseorang harus mengeluarkan uang diluar kemampuannya.
Kelima, makanan adalah penunjuk status ekonomi seseorang. Contoh : makan beras dianggap lebih elit dibanding makan jagung atau ubi. Ini bisa menjadi masalah dalam pengadaannya, jika penduduk bertambah maka konsumsi akan bertambah juga. Beras putih dianggap lebih elit daripada beras yang masih ada kulit arinya/beras setengah giling yang masih mengandung dedak/bekatul. Padahal gizinya lebih banyak beras yang masih ada bekatulnya dibandingkan beras putih. Memang, rasanya lebih enak beras putih.
Keenam, makanan juga bisa jadi simbol kekuasaan.Seorang majikan memberikan makanan berbeda kepada pembantunya, yang harganya lebih murah. Tahanan diberi makanan berkualias rendah, makanan itu danggap sebagai hukumannya juga. Negara yang berumsuhan akan saling menghentikan embargo bahan pangan.
Gaya Hidup Makan
Dunia modern, akses cepat, transportasi mudah, kesibukan tinggi, itu yang membuat cara ber-diet kita telah berubah drastis. Kita ingin makan tanpa memasak, yang penting kenyang. Sering kita mengabaikan ‘tintihan’ dan ‘jeritan’ tubuh kita yang ingin diberi makanan yang ‘benar’. Stress membuat diri kita sering lupa makan. Banyak diantara kita yang memikirkan “Bagaimana mendapatkan uang banyak?” tapi tidak memikirkan, “Bagaimana mendapatkan hidup sehat bahagia sejahtera?” Kita sering makan di restoran cepat saji, kan? Enak ya? Mudah didapat dan cepat. Junk Food jadi sangat populer karenanya. Untunglah di Indonesia, Junk Food merupakan makanan kelas atas. Orang bisa makan makanan itu kalau punya uang cukup banyak. Kalau uangnya cuma sedikit, kita lebih memilih makan di warteg saja. Dilihat dari cara diet yang benar, mana yang lebih baik? Tentu saja junk food lebih buruk daripada makanan warteg. Bagi yang belum sadar akan hal itu, bersiaplah dengan bahaya kegemukan dan obesitas.
Namun, saat ini, sudah banyak restoran-restoran yang mulai menyajikan menu-menu sehat—bahkan bahannya organik. Lagipula kita bukan robot, jadi boleh-boleh saja makan makanan enak. Hanya saja tidak sering. Anda bisa pergi ke restoran kesukaan Anda sebulan sekali. (berbagai sumber)


0 coments:
Posting Komentar